Jumat, 25 Mei 2012

HUBUNGAN KONSEP DIRI DENGAN PENYESUAIAN SOSIAL Terkesampingkannya aspek sosial emosional terbukti pada fenomena dari para orang tua yang cenderung lebih bangga melihat anaknya menjadi juara kelas daripada menjadi penolong bagi temannya yang mengalami kesulitan pelajaran. Kenyataan dimasyarakat juga menunjukkan bahwa aspek kognitif cenderung lebih dihargai daripada aspek sosial emosional terbukti pada iklan di media massa, yang menunjukkan bahwa anak dinilai hebat jika mampu memecahkan persoalan matematis yang rumit dan seakan-akan melupakan pentingnya kemampuan berinteraksi dengan lingkungan. Usia siswa-siswa SMP dapat dikategorikan dalam masa remaja awal, yaitu 12-15 tahun (Monks, Knoers, & Haditono, 2004). Memasuki masa remaja, anak mulai melepaskan diri dari ikatan emosi dengan orang tuanya dan menjalin sebuah hubungan yang akrab dengan teman-teman sebayanya. Havighurst (dalam Hurlock, 1997) menjelaskan beberapa tugas perkembangan remaja yang berhubungan dengan perkembangan sosial emosional, yaitu menjalin hubungan dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai suatu peran sosial baik bagi pria maupun wanita sesuai dengan jenis kelaminnya, melakukan perilaku sosial yang diharapkan, dan mencapai suatu kemandirian sosial dari orang tua dan dewasa disekitarnya. Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit ialah berhubungan dengan penyesuaian sosialnya. Menurut Iswinarti (2002), sebagian anak dengan IQ tinggi akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosial, karena anak dengan IQ tinggi mempunyai pemahaman yang lebih cepat dan cara berpikir yang lebih maju sehingga sering tidak sepadan dengan teman-temannya. Kondisi tersebut semakin tidak diuntungkan dengan adanya labelling dari lingkungan sekitar terhadap siswa akselerasi. Mead (dalam Burns, 1993) menjelaskan pandangan, penilaian, dan perasaan individu mengenai dirinya yang timbul sebagai hasil dari suatu interaksi sosial sebagai konsep diri. Konsep diri mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku individu, yaitu individu akan bertingkah laku sesuai dengan konsep diri yang dimiliki (Rahmat, 1996). Pernyataan tersebut didukung oleh Burns (1993) yang menyatakan bahwa konsep diri akan mempengaruhi cara individu dalam bertingkah laku ditengah masyarakat. Asyanti, Sofiati, dan Sudardjo (2002) menyatakan bahwa perempuan cenderung lebih mudah untuk melakukan penyesuaian sosial bila dibandingkan dengan laki-laki karena perempuan mempunyai perasaan yang lebih peka.Faktor budaya juga diprediksikan ikut andil terhadap penyesuaian sosial individu, sebab latar belakang budaya akan mempengaruhi pembentukan sikap, nilai, dan norma seseorang (Schneiders, 1964).Berdasarkan gambaran diatas yang menunjukkan penyesuaian sosial remaja merupakan hal penting untuk menyelesaikan tugas perkembangan, serta andil perkembangan sosial emosional sebagai faktor cukup besar dalam menentukan kebahagiaan dan kesuksesan. Penyesuaian Sosial Menurut Scheniders (1964) penyesuaian sosial adalah kemampuan individu untuk bereaksi secara sehat dan efektif terhadap hubungan, situasi, dan kenyataan sosial yang ada sehingga dapat mencapai kehidupan sosial yang menyenangkan dan memuaskan. Penyesuaian sosial meliputi penyesuaian di rumah atau keluarga, di sekolah, dan di masyarakat, yang dipengaruhi oleh faktor kondisi fisik dan determinannya, perkembangan dan kematangan, determinasi psikologi, kondisi lingkungan rumah, sekolah, masyarakat, serta budaya dan agama. Konsep Diri Menurut Hurlock (1999) konsep diri adalah pandangan individu mengenai dirinya. Konsep diri tersebut terdiri dari dua komponen, yaitu konsep diri sebenarnya dan konsep diri ideal. Konsep diri sebenarnya adalah gambaran mengenai diri, sedangkan konsep diri ideal adalah gambaran individu mengenai kepribadian yang diinginkannya. Terdapat dua aspek konsep diri, yaitu fisik dan psikologis. Hubungan Konsep Diri dengan Penyesuaian Sosial pada Siswa Kelas Akselerasi Pandangan dan penilaian individu terhadap dirinya disebut dengan konsep diri, yang akan mempengaruhi individu dalam bertingkah laku ditengah masyarakat (Burns, 1993). Hurlock (1999) menjelaskan bahwa individu dengan penilaian positif terhadap dirinya akan menyukai dan menerima keadaan dirinya sehingga akan mengembangkan rasa percaya diri, harga diri, serta dapat melakukan interaksi sosial secara tepat. Rasa percaya diri dan harga diri yang tumbuh seiring dengan adanya keyakinan terhadap kemampuan dirinya membuat individu cenderung tampil lebih aktif dan terbuka dalam melakukan hubungan sosial dengan orang lain. Relasi sosial yang luas akan menjadikan inidividu mampu mengerti dan melakukan apa yang diharapkan oleh lingkungan, sehingga memudahkannya untuk menyesuaikan dengan keadaan lingkungan. Penilaian yang negatif terhadap diri sendiri akan mengarah pada penolakan diri, sehingga individu akan cenderung mengembangkan perasaan tidak mampu, rendah diri, dan kurang percaya diri. Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa konsep diri seseorang, yaitu cara pandang dan penilaian individu pada dirinya sendiri akan berpengaruh terhadap penyesuaian sosialnya. Hasil penelitian Scott dan Scott (1998) menunjukkan bahwa individu dengan tingkat inteligensi tinggi akan menunjukkan penyesuaian sosial yang lebih baik tanpa melihat perbedaan jenis kelaminnya. Sependapat dengan pernyataan diatas, Schneiders (1964) menyatakan bahwa individu dengan tingkat inteligensi tinggi cenderung akan bereaksi secara tepat terhadap situasi sosial yang dihadapi, sebab inteligensi berhubungan dengan pengaturan diri (self-regulation) dan realisasi diri (self-realization). Pengaturan diri adalah kemampuan untuk mengatur diri dan mengarahkan diri dalam menghadapi situasi sulit, konflik, dan frustrasi, sehingga dapat mencari jalan keluar secara tepat, efektif, dan efisien.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Designed by Simply Fabulous Blogger Templates Tested by Blogger Templates